fbpx

Agroforestry: Kala Hutan Merangkul Usaha Tani & Ternak

Penanaman berbagai jenis pohon bersamaan dengan tanaman semusim pada sebidang lahan yang sama merupakan praktik kuno yang sudah diterapkan oleh petani di seluruh penjuru dunia.  Sejarah mencatat bahwa masyarakat di abad pertengahan sudah memiliki tradisi untuk membersihkan hutan, membakarnya dan menanam tanaman pertanian pada area yang dibersihkan pada periode tertentu. Meskipun praktiknya sedikit  berbeda, namun sistem penanaman ini tercatat pernah diterapkan di Eropa, Amerika, Asia bahkan hingga Afrika. 

Ada banyak contoh praktik penggunaan lahan tradisional yang melibatkan kombinasi antara produksi pohon dengan tanaman pertanian dalam satu tempat di berbagai penjuru dunia. Dalam sistem ini, pohon menjadi bagian integral dari sistem pertanian, yang mana berfungsi sebagai pendukung produksi tanaman pertanian itu sendiri. Tujuan utama dari praktik ini adalah produksi pertanian dan produksi pohon. Sistem ini kini dikenal dengan istilah agroforestry (Nair, 1993).

Definisi Agroforestri

Mendefinisikan agroforestry (agroforestri/wanatani) sama rumitnya dengan mendefinisikan kata ‘hutan’. Di dalam jurnal “Agroforestry System”, terdapat dua belas definisi agroforestri yang berasal dari berbagai ahli. Di Indonesia, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.11 tahun 2020, Agroforestri didefinisikan sebagai:

“…Optimalisasi pemanfaatan lahan hutan di areal izin usaha Hutan Tanaman Rakyat dengan pola tanam kombinasi antara tanaman hutan yang berupa pohon dengan tanaman selain pohon dan/atau hewan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan tanaman dengan tidak mengubah fungsi pokok usaha pemanfaatan hasil hutan kayu”.

Barangkali, definisi agroforestry yang paling baik diberikan oleh Lundgren dan Raintree (1982), di mana mereka meringkas definisi agroforestri dari berbagai sumber menjadi:

Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.

Lundgren dan Raintree (1982) cit. Nair (1993)

Paradigma baru dalam definisi agroforestri yang menarik dikemukakan oleh Roger Leakey (1996). Ia mengungkapkan bahwa penjabaran makna agroforestri terkadang masih diasosiasikan dengan penggunaan lahan. Akibatnya, agroforestri diartikan sebagai suatu ‘cara’ untuk melegalkan deforestasi dan degradasi lahan. Dalam hal ini, Roger Leakey mengusulkan penggunaan istilah agroforestri sebagai “sebuah fase perkembangan dari sistem agroekosistem yang produktif dan berjalan seiring dengan ekosistem alami”. 

Artinya, menurut Roger Lakey, pengelolaan agroforestri yang tepat adalah dengan menanam tanaman pertanian yang sesuai dengan pohon yang ada, bukan dengan menebang pohon dan menggantinya dengan yang lain. Dalam hal ini, yang perlu disesuaikan adalah tanamannya, bukan pohonnya. Pohon tidak ditebang, dan hutan dibiarkan tumbuh secara alami, disamping hutan dimanfaatkan dengan ditanami dengan tanaman pertanian yang sesuai.

Meskipun ada perbedaan pendapat terkait definisi, namun bisa ditarik suatu benang merah bahwa setidaknya para ahli sepakat agroforestri memiliki lima unsur, yaitu (Hariah, 2003):

1) Pemanfaatan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia
2) Penerapan teknologi
3) Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan
4) Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu
5) Ada interaksi ekologi, sosial, ekonomi.

Konsep Dasar Agroforestri

Untuk membedakan agroforestri dengan model pemanfaatan lahan yang lain, perlu adanya konsep yang jelas dari agroforestri tersebut. Dari esensinya, agroforestri menitikberatkan pada dua karakter pokok, yaitu adanya pengkombinasian antara tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan/atau hewan ternak secara bersamaan, dan adanya interaksi ekologis atau ekonomis yang jelas antara komponen-komponennya, baik itu positif maupun negatif.

Dalam sistem agroforestri, wajib ditemukan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan/atau hewan ternak dalam satu tempat pada satu waktu. Tidak hanya itu, komponen tersebut juga wajib memiliki hubungan dan interaksi. Cabai yang ditanam di dekat sekumpulan pohon jati yang tidak memiliki kaitan bukanlah termasuk agroforestri. Namun, cabai yang ditanam dekat pohon jati dengan maksud sebagai penghalang angin (wind breaker), maka bisa disebut agroforestri.

Konsep dasar agroforestri bisa dirangkum dalam beberapa kaidah berikut (Lundgren dan Raintree,1982):

  1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
  2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.
  3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.
  4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
  5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, atau peneduh (fungsi hiburan dan rekreasi).
  6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomassa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.
  7. Sistem agroforestri secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur, bahkan pada sistem agroforestri yang paling sederhana sekalipun.

Klasifikasi Agroforestri

Agroforestri memiliki beragam klasifikasi tergantung dari objek tinjauannya, namun klasifikasi paling umum dan sekaligus paling mendasar adalah klasifikasi agrikultur ditinjau dari komponen penyusunnya. Seperti yang sudah disebutkan di awal bahwa Komponen penyusun utama dari agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. 

Berdasarkan komponennya, agroforestri dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu (Sardjono, 2003):

  1. Agrisilvikultur (kehutanan-pertanian)

Agrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).Dalam agrisilvikultur, pohon berfungsi sebagai pohon serbaguna, atau sebagai pelindung tanaman pertanian. Sebagai catatan, seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan tanaman berkayu.

  1. Silvopastura (kehutanan-peternakan)

Silvopastura adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan dengan komponen peternakan. Untuk silvopastura, kedua komponen terkadang tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama karena hewan cenderung bergerak dan berpindah tempat. Pohon dalam sistem ini kebanyakan berfungsi sebagai pohon pakan serbaguna atau bahkan pagar hidup untuk ternak. Meskipun terlihat tidak berhubungan, namun pegiat agroforestri tetap memperhitungan hubungan pohon dengan ternak karena dampaknya yang nyata terhadap aspek konservasi dan ekonomi.

  1. Agrosilvopastura (kehutanan-pertanian-peternakan)

Sistem agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan pada unit manajemen lahan yang sama. Sistem ini mengandalkan simbiosis tiga arah sekaligus, dan nyaris seperti siklus alami. Perbedaannya dengan sistem alami, pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat. Dengan kata lain, masing-masing komponen tetap diatur sedemikian rupa sehingga mengikuti hasil yang diinginkan.

Keunggulan dan Kelemahan Agroforestri

Sebagai sebuah sistem kehutanan-pertanian, tujuan akhir dari agroforestri adalah tentu saja meningkatkan kesejahteraan petani. Agroforestri menawarkan solusi peningkatan produksi hutan, tani dan ternak dengan tetap memperhatikan sistem berkelanjutan. hal ini dapat dicapai dengan mengoptimalkan interaksi yang positif antara tiga komponen utama agroforestri. Selain itu, agroforestri secara tidak langsung membuat petani berpartisipasi secara aktif dalam perbaikan dan pemeliharaan lingkungan (Suryani, 2012).

Hasil produksi dari sistem agroforestri lebih tinggi dibanding sistem monokultur (penanaman satu jenis tanaman). Produksi tanaman, kayu, dan ternak saling meng-cover satu sama lain,  meminimalisir kerugian yang didapat ketiga salah satu aspek mengalami kegagalan. Selain itu, adanya diversitas pada agroforestri menyebabkan resiko gagal panen yang diakibatkan hama penyakit yang lebih rendah, karena sifat hama dan penyakit yang cenderung lebih ganas pada penanaman monokultur. Diversitas pada lahan efektif memotong penyebaran hama dan penyakit. 

Dari segi investasi, agroforestri mampu menjadi penghasil produk jangka pendek, menengah, dan panjang sekaligus. Jangka pendek didapat dari hasil pertanian, jangka menengah dari peternakan, dan jangka panjang dari pohon kayu. Hal ini menciptakan stabilitas ekonomi maupun lingkungan yang amat baik apabila diterapkan secara maksimal.

Namun, diversitas ini juga menyebabkan beberapa kendala. Pola pertanian yang tidak teratur menyebabkan ahli ekonomi kesulitan dalam menentukan nilai produktivitas dengan detail yang akurat. Terdapat beberapa interaksi antar komponen yang masih belum diteliti, dan hal ini terkadang menjadi ‘faktor x’, yaitu faktor yang tidak disangka namun memiliki pengaruh besar dalam sistem. Selain itu, remote sensing juga masih kesulitan dalam mengidentifikasi agroforestri karena visual komponennya yang cenderung mirip. Hal ini berarti pemantauannya cenderung manual dan tidak efisien.

Agroforestri adalah sistem yang amat baik dalam hal penerapan sistem pertanian dan mengintegrasikannya dengan lingkungan kehutanan. Sistem ini memungkinkan petani untuk memperoleh hasil produksi maksimal, dari banyak sumber, dengan tetap memperhatikan etika lingkungan. Jika anda tertarik mempelajari lebih lanjut, anda bisa mengunjungi website https://www.cifor-icraf.org untuk mengetahui berbagai topik terkait agroforestri, atau dengan referensi buku berikut https://link.springer.com/book/9780792321347

Jika anda memiliki lahan pertanian yang dekat dengan hutan dan tertarik untuk menerapkan sistem agroforestri, Sitibecik dengan senang hati akan membantu anda menerapkan sistem ini secara maksimal. Tim kami yang terdiri dari ahli pertanian dan kehutanan akan menjamin penerapan sistem agroforestri yang baik dan maksimal pada lahan anda. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi kami melalui tautan berikut.

Daftar Pustaka

  • Hariah, Kurniatun., Sardjono, M.A., dan Sabarnurdin, Sambas. 2003. Bahan Ajaran 1: Pengantar Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia.
  • Leakey, R.R.B. 1996. Definition of agroforestry revisited, Agroforestry Today, 8(1), 5-7.
  • Lundgren BO and JB Raintree. 1982. Sustained Agroforestry. In Nestel B (Ed.). 1982. Agricultural Research for Development. Potentials and Challenges in Asia. ISNAR, The Hague, The Netherlands. 37-49.
  • Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. USA: Klgwer Academic Publisher.
  • Sardjono, M.A., Djogo, Tony., Arifin, H.S., dan Wijayanto, Nurheni. 2003.  Bahan Ajaran 2: Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia.
  • Suryani, Erna dan Dariah, Ai. 2012. Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem Agroforestri. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2: 101 – 109.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *