fbpx

Food Estate: Strategi Ketahanan Pangan Nasional

Membludaknya populasi manusia secara global menuntut sektor pertanian untuk lebih gencar meningkatkan produksi. Hanya saja, meskipun produktivitas pertanian telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade, pada kenyataannya hingga saat ini bencana kelaparan masih banyak dilaporkan di seluruh penjuru dunia. Hal ini menjadikan ketahanan pangan menjadi salah satu isu internasional yang paling serius, karena menyangkut kebutuhan pokok manusia.

Pada tahun 1996, World Food Summit mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “keadaan yang muncul ketika seluruh manusia, di masa kapanpun, memiliki akses secara fisik, sosial, dan ekonomi terhadap makanan yang sehat dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan referensi makanan tertentu untuk hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari” (FAO, 1996).

Dalam ketahanan pangan, terdapat mimpi utopis umat manusia, yaitu sebuah kondisi di mana seluruh umat manusia di segala waktu bebas dari kelaparan.

Tidak ketinggalan dengan Indonesia. Negara kita telah lama melirik konsep ketahanan pangan dengan menjadikannya sebagai isu sentral dalam kerangka pembangunan nasional. Ketahanan pangan mempengaruhi ekonomi nasional, sehingga sejak tahun 1995 (atau lebih lama) Indonesia sudah membuat berbagai macam program yang berhubungan dengan hal tersebut. Kebijakan pangan Indonesia selalu berubah, demi beradaptasi dengan isu yang berlangsung secara nasional maupun internasional.

Tahun 2020, dunia dikejutkan dengan pandemi COVID yang mengacaukan berbagai aspek kehidupan. FAO bahkan sampai memberi peringatan akan munculnya krisis makanan global yang diakibatkan oleh bencana tersebut. Untuk mengatasi ancaman dari FAO, pemerintah membuat kebijakan dengan dua kunci prioritas, yaitu 1) program jaring pengaman sosial (sosial safety net) untuk mengurangi kesulitan ekonomi kelas menengah ke bawah, dan 2) food estate untuk meningkatkan ketersediaan pangan hingga level lokal (Nurhidayah,2022).

Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden  Nomor 109 Tahun 2020,  food estate resmi masuk dalam Rencana Program Strategis Nasional tahun 2020-2024 dan menjadi strategi pemerintah yang terbaru dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Apa Itu Food Estate?

food estate adalah “…usaha pangan skala luas yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan  sumber  daya  alam  melalui  upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu Kawasan Hutan”.

Dikutip dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 tahun 2021

Dalam konsep yang sederhana, food estate merupakan istilah populer dari lumbung pangan, atau sentra produksi pangan, yang berarti kegiatan usaha budidaya tanaman, berskala luas di atas 25 ha, dilakukan dengan konsep pertanian industri, serta berbasis pada iptek dan manajemen modern yang terorganisasi. Inti dari food estate adalah budidaya tanaman pangan berbasis industrial guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri (Kementan, 2010).

Food estate adalah strategi yang bertajuk ketahanan pangan, sehingga komoditas pertanian yang diutamakan adalah jenis tanaman bahan pokok seperti padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, hingga sorgum. Dalam pengembangannya, food estate juga diintegrasikan dengan tanaman hortikultura (buah dan sayur) dan kegiatan peternakan (ayam dan sapi).

Sejatinya, food estate bukanlah hal baru di Indonesia. Pada tahun 2006 – 2011, pemerintah menginisiasi food estate di Merauke dengan program bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Selain itu, ada juga rice estate yang bernama Project in Peat Land atau Pengembangan Lahan Gambut di di Kalimantan Tengah pada tahun 1995-1999 dan proyek Delta Krayan Food Estate di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat bahkan pernah menginisiasi rice estate di Kutai Kartanegara, Penajam, dan Paser, Kalimantan Timur (2014-2018) dan rice estate di Kubu Raya, Kalimantan Barat (2011-2014).

Konsep dasar food estate adalah pencapaian target kenaikan produksi pangan dan sebagai penggerak perekonomian wilayah. Berdasarkan Bappenas, terdapat lima Kegiatan Prioritas yang menjadi acuan program ini. Lima kegiatan Prioritas Food Estate (Bappenas,2023):

  1. Peningkatan kualitas konsumsi, keamanan, fortifikasi dan biofortifikasi Pangan.
  2. Peningkatan ketersediaan pangan hasil pertanian dan pangan hasil laut secara berkelanjutan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kebutuhan pokok.
  3. Peningkatan produktivitas, keberlanjutan sumber daya manusia (SDM) pertanian dan kepastian pasar.
  4. Peningkatan produktivitas, keberlanjutan sumber daya pertanian dan digitalisasi pertanian.
  5. Peningkatan tata kelola sistem pangan nasional.

Meskipun konsep ketahanan pangan ada di berbagai negara, namun dilihat dari istilah dan sejarahnya, ‘food estate’ itu sendiri merupakan produk dari kebijakan pemerintah Indonesia. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa konsep food estate tidak luput dari dinamika politik. Konsekuensi dari hal ini, perkembangan food estate tidaklah berbanding lurus dengan perkembangan iptek, namun food estate berkembang mengikuti pandangan politik pemerintah terhadap kebijakan pertanian di Indonesia (disebut dengan istilah politik pertanian).

Menilik Kembali Food Estate di Masa Lalu

Program food estate sudah dipraktikkan cukup lama oleh Pemerintah Indonesia. Namun sayangnya, dalam catatan sejarah resmi Indonesia,  food estate belum pernah membuahkan hasil yang memuaskan. Seolah mengulangi sejarah, proyek food estate yang dicanangkan pada tahun 2020 pun terancam mengalami kegagalan.

Kegagalan ini dikarenakan berbagai macam faktor. Selain faktor teknologi dan infrastruktur agribisnis, food estate juga mengalami penolakan dari para penggiat lingkungan baik nasional maupun internasional, serta adanya konflik lahan dan konflik sosial yang muncul. Bahkan, food estate juga mengalami kendala dari segi politik, yang sudah menjadi resiko karena food estate meripakan kebijakan eksekutif pemerintah Indonesia.

Isu yang paling gencar dihembuskan terkait food estate adalah terkait lingkungan. Polemik ini muncul ketika Menteri KLHK menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021 bahwa proyek food estate diperbolehkan memakai kawasan hutan produksi dan/atau hutan lindung. Hal ini menuai kritikan keras dari berbagai pihak karena peraturan ini beresiko mempercepat laju deforestasi di Indonesia. Selain itu, proyek food estate juga dikhawatirkan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan, sama seperti proyek sebelumnya (Mutia, 2022).

Selain isu lingkungan, terdapat juga isu sosial yang muncul. Adanya konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah beberapa kali terjadi akibat hutan atau lahan masyarakat adat diklaim pemerintah sebagai hutan dan dijadikan kawasan food estate. Konflik ini hampir selalu ada dan seolah tidak terselesaikan secara jelas, padahal masalah adat adalah isu yang sensitif (Nurhidayah, 2022). Selain konflik agraria, ada pula konflik pemberdayaan petani, di mana program pengembangan food estate justru diakui pemerintah sendiri malah lebih melibatkan korporasi bermodal besar dibanding melakukan reforma agraria pada petani tanpa tanah (Kementan, 2021).

Berdasarkan Kementan, meski banyak mengalami kegagalan, namun pemerintah telah mengevaluasi faktor – faktor yang dimungkinkan menjadi kunci keberhasilan food estate berdasar pengalaman yang telah lalu. Faktor tersebut adalah :

  1. Pemilihan jenis komoditas yang fokus pada demand;
  2. Pengembangan infrastruktur yang disesuaikan dengan kondisi lapangan;
  3. Penataan kawasan dengan prinsip serasi, efisien, efektif, dan ramah lingkungan;
  4. Pemilihan dan penerapan teknologi produksi maju dan tepat guna;
  5. Penyediaan prasarana dan sarana produksi berdasarkan prinsip tepat jenis, tepat kualitas, tepat jumlah, tepat waktu, harga ekonomis, aman dan ramah lingkungan; serta
  6. Pengembangan korporasi petani dalam rangka meningkatkan efisiensi produksi dan nilai tambah serta daya saing produk pangan.

Strategi Pengembangan Food Estate

Tidak ada jalan pintas dalam ketahanan pangan, begitu juga dengan food estate. Pada realitanya, pelaksanaannya tidaklah sesederhana ‘menanam sebanyak mungkin bahan pokok di lahan’. Food estate merupakan program ketahanan pangan dengan konsep budidaya tanaman yang wajib terintegrasi dengan lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Ada tiga dimensi yang secara singkat perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam food estate, yaitu dalam landasan dasar, tipe pelaksanaan, dan teknik di lapangan :

Pertama, landasan dasar. Penyusunan konsep dan teori food estate haruslah berdasarkan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan oleh FAO, bukan dalam rangka peningkatan ekonomi negara atau bahkan kebijakan politik semata. Berdasarkan definisi dari ketahanan pangan itu sendiri, maka terdapat empat hal dasar yang wajib dinaungi oleh food estate, yaitu (Simon, 2012):

  1. Ketersediaan, artinya bahan pangan harus untuk produksi domestik, impor, stok pangan dan cadangan makanan.
  2. Akses, artinya pangan harus bisa dijangkau oleh seseorang secara fisik, finansial, hingga sosio-kultural.
  3. Kegunaan, artinya pangan yang ada adalah yang sehat dan bergizi.
  4. Stabil, artinya pangan yang selalu terkondisi tidak peduli waktu dan tempat.

Keempat hal tersebut wajib dihadirkan dalam perumusan kebijakan food estate sehingga program tersebut tidak kehilangan esensinya sebagai konsep ketahanan pangan, serta dijadikan landasan dalam penyusunan langkah – langkah yang konkrit dalam masterplan.

Kedua, tipe pelaksanaan. Dalam hal ketahanan pangan, tidak ada tipe pelaksanaan yang lebih baik daripada konsep keberlanjutan. Konsep keberlanjutan adalah konsep pemenuhan kebutuhan masa kini tanpa menghilangkan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hubungannya dalam food estate, konsep ini disebut ketahanan pangan berkelanjutan.

Ketahanan pangan berkelanjutan dibangun dengan tiga perspektif, yaitu kesadaran bahwa pangan merupakan hak asasi manusia, ketahanan pangan wajib diperlakukan sebagai sistem hierarki dari tingkat global hingga rumah tangga, dan perlunya peranan strategis dari pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab, presure group dan adanya kebebasan pers.

Simatupang (1999)

Sebagai proyek strategis nasional, food estate bisa dilihat dari sisi pembangunan berkelanjutan. Konsep ini merupakan konsep terbaik karena melihat pembangunan dari aspek ekologis, ekonomi, dan sosial, yang mana masih menjadi polemik dalam food estate itu sendiri. Dari segi budidaya, food estate juga bisa dilaksanakan dengan konsep pertanian berkelanjutan. Dalam konsep pertanian berkelanjutan, prinsip yang dipegang adalah hasil pertanian yang maksimal tanpa merusak lahan dan sosio-kultur di sekitarnya. Prinsip ini sejatinya diberlakukan supaya dalam pelaksanaan program food estate, pemerintah tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama seperti dalam kasus Revolusi Hijau.

Ketiga, teknik di lapangan. Pelaksanaan food estate bisa diterapkan dengan teknik agroforestri. Agroforestri diimplementasikan sebagai kombinasi pohon dengan tanaman pertanian, termasuk ternak dan ikan pada satu hamparan lahan, sebagai upaya untuk memanfaatkan ruang tumbuh semaksimal mungkin, baik secara horizontal maupun vertikal, dengan harapan mampu menjamin kebutuhan pangan.

Agroforestri merupakan teknik yang baik diterapkan, terutama untuk hutan yang sudah terlanjur ditebang untuk food estate. Teknik ini tidak menghilangkan aspek pohon dalam praktiknya, sehingga dalam food estate penananam bahan pokok bisa sekaligus dikembangkan dengan penanaman pohon. Teknik ini juga sudah terbukti sebagai teknik budidaya dengan hasil maksimal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Ke depannya, pelaksanaan food estate tidak perlu dengan penggundulan hutan, namun dengan reforma agraria dengan memanfaatkan lahan non-hutan yang sudah ada.

Sitibecik mendukung adanya program ketahanan pangan yang tetap memperhatikan ranah lingkungan, sosial dan budaya. Sitibecik sebagai lembaga memiliki kepedulian dalam ketahanan pangan, dan siap berpartisipasi baik dalam perancangan konsep ataupun pelaksanaan di lapangan. Dengan latar belakang Sitibecik yang didominasi oleh ahli pertanian, kami siap mendukung pemerintah dalam program pemerintah dalam masalah ketahana pangan. Silakan hubungi kami di sini.

Bagi anda sebagai stakeholder, akademisi, atau petani yang tertarik dengan konsep food estate, anda bisa mempelajarinya lebih lanjut dalam buku yang diterbitkan oleh Kementan. https://repository.pertanian.go.id/bitstreams/0ebe3203-e2b0-4f63-8203-71184a270f55/download

Daftar Referensi

  • FAO. 1996. World Food Summit: Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit Plan of Action. Rome.
  • Indonesia. Permen Bappenas Nomor Kep. 19: Rencana Induk Pengembangan Food Estate/Kawasan Sentra Produksi Pangan Di Provinsi Sumatera Utara. Jakarta: Kementerian Bappenas RI, 2023.
  • Kementerian Pertanian. 2010. Buku Pintar Pengembangan Food Estate. Kementerian Pertanian.
  • Kementerian Pertanian. 2021. Rancangan Umum Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani. Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian RI.
  • Mutia, A.N.A., Nurlinda, I., dan Astriani, N. 2022. Pengaturan Pembangunan Food Estate Pada Kawasan Hutan Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia. Bina Hukum Lingkungan Vol.6 No.2: hal. 224-240
  • Nurhidayah, Laely dan Djalante, Riyanti. 2022. Goverment Response to COVID-19 and Their Implications on Food Security in Indonesia. Springer: Global Pandemic and Human Security Technology and Development Perspective: hal. 323-339.
  • Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm. Centre for International Economic Studies, University of Adelaide 5005 Australia.
  • Simon, George-André. 2012. Food Security: Definition, Four dimensions, History. Basic readings as an introduction to Food Security at joint training programme: Rome.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *