Your basket is currently empty!
Sobat Sitibecik sekalian, apakah kalian akhir-akhir ini merasa kalau udara di sekitar kita semakin panas? Sobat sekalian pasti setuju bahwa hawa di Indonesia semakin panas karena adanya pemanasan global. Istilah ini mengacu pada peristiwa di mana temperatur wilayah semakin meningkat dalam lingkup global. Pemanasan global disebabkan oleh efek yang disebut efek rumah kaca. Nah, efek rumah kaca ini berasal dari gas-gas rumah kaca, yang mana ini adalah istilah untuk gas yang memiliki kemampuan untuk menjebak hawa panas supaya tetap tinggal di bumi. Bayangkan, sobat, jika gas rumah kaca semakin banyak memerangkap hawa panas dari matahari? Pastinya, bumi akan menjadi semakin panas!
Solusi dari pemanasan global sebenarnya cukup praktis, yaitu dengan penanaman pohon. Tanaman sudah terbukti secara sains mampu menyerap gas rumah kaca, salah satunya CO2. Secara singkatnya, tanaman menyerap gas karbon di atmosfir. Semakin banyak pohon ditanam, maka gas rumah kaca akan semakin berkurang dan temperatur global akan kembali normal.
Belakangan ini, para ilmuwan mulai menggaungkan solusi lain dari pemanasan global. Lebih tepatnya, ilmuwan menunjukkan pada kita apa yang selama ini terlewat dari pembahasan terkait kebijakan pemanasan global. Hingga puncaknya pada tahun 2018, lima puluh negara dalam Persetujuan Paris sepakat bahwa hal tersebut perlu diperhatikan secara lebih serius.
Nah, sobat Sitibecik sekalian, pembahasan yang dimaksud adalah tentang karbon biru.
Apa Itu Karbon Biru?
Karbon biru (blue carbon) merujuk pada karbon organik yang ditangkap dan disimpan dalam lautan dan ekosistem pesisir. Makna karbon biru sebenarnya cukup luas, yang mencakup pada:
1) Semua bahan organik yang ditangkap oleh organisme lautan
2) Ekosistem perairan yang memiliki siklus karbon yang dirasa signifikan terhadap stok karbon secara menyeluruh.
Hal ini berarti yang termasuk dalam karbon biru adalah semua proses perubahan karbon baik itu fisika, kimia, dan biologi dalam dan pada tanah sedimen, air, biomassa hidup dan tidak hidup serta termasuk juga pertukaran gas rumah kaca dengan atmosfir.
Blue Carbon atau Karbon biru adalah karbon yang berada di lautan dan pesisir, sedangkan Blue Carbon Ecosystems (BCEs) atau ekosistem karbon biru didefinisikan sebagai ekosistem pesisir lahan basah yang dapat dikelola dengan fluks dan stok karbon yang signifikan secara atmosferik.
(Crooks, 2019)
Masih ingat kan, sobat Sitibecik, bahwa tanaman menyerap gas karbon dioksida yang menjadi salah satu gas penyebab pemanasan global? Nah, tidak hanya di darat, ternyata tanaman di lautan pun berperan dalam penyerapan gas ini, lho! Ilmuwan sudah mengklasifikasikan empat ekosistem pesisir yang sangat penting dalam keberadaan karbon biru yang menjadi tanda adanya penyerapan gas rumah kaca. Ekosistem ini dipilih karena ekosistemnya rata – rata memiliki stok karbon yang melimpah, mampu mendukung siklus karbon dalam jangka panjang, serta memiliki potensi sebagai pengendali gas rumah kaca. Keempat ekosistem perairan tersebut adalah (Crooks, 2019):
1) Hutan bakau (mangrove)
2) Padang lamun (seagrass)
3) Rawa air payau (tidal freshwater forest)
4) Rawa pasang surut (tidal marsh)
Sebagai catatan, dalam sains, karbon biru juga terdapat pada ekosistem koral, kerang-kerangan, mikroalgae hingga fitoplankton. Hanya saja, pada konteks kebijakan iklim, ekosistem tersebut belum memenuhi kiriteria yang ditetapkan ilmuwan. Ekosistem tersebut saat ini digolongkan sebagai karbon biru potensial, yang di masa depan bisa saja diperhitungkan dalam kebijakan iklim setelah penelitian lebih lanjut.
Meskipun ekosistem pesisir hanya menempati sekitar dua persen dari area global, penelitian menunjukkan bahwa ekosistem pesisir sepuluh kali lebih efektif dalam sekuestrasi karbon dioksida per area dalam satu tahun dibanding bioma taiga, temperate forest, atau bahkan hutan tropis. Selain itu, ekosistem ini ternyata dua kali lipat lebih efektif dalam menyimpan karbon di dalam tanah dan biomassa (Mcleod, 2011). Melimpahnya karbon biru menjadi salah satu manfaat dari pemeliharaan ekosistem pesisir selain perlindungan garis pantai, peningkatan kualitas air, hingga penyediaan bahan makanan.
Akibat dari tingginya simpanan karbon dan tingkat sekuestrasinya dibanding ekosistem lain, sobat Sitibecik, manajemen karbon biru dalam ekosistem pesisir dianggap sebagai salah satu siasat paling efektif dalam solusi perubahan iklim berbasis kelautan.
Hubungan Karbon Biru dengan Pemanasan Global
Ekosistem selalu memainkan peran penting dalam pertukaran gas rumah kaca, termasuk dalam ekosistem pesisir. Karbon dioksida memasuki ekosistem pesisir melalui proses fotosintesis, proses yang mengubah gas CO2 di atmosfir menjadi materi organik. Bagian dari materi organik ini digunakan oleh organisme fotosintesis itu sendiri (tidak terbatas pada tanaman) untuk pertumbuhan, perawatan dan absorpsi ion. Materi organik ini juga digunakan oleh mikroorganisme dan terdekomposisi. Secara mudahnya, gas CO2 selalu keluar dan masuk ekosistem. Ketidakseimbangan antara masukan dan keluaran CO2 inilah yang mengakibatkan akumulasi karbon dalam ekosistem.
Menempati 2% dari area lautan, ekosistem pesisir diperkirakan bertanggung jawab terhadap 50% timbunan karbon pada sedimen laut! Timbunan ini menunjukkan adanya konsentrasi fluks karbon yang tinggi dari atmosfir dan permukaan air dalam proses sedimentasi jangka panjang
(Crooks, 2019)
Dalam penelitian bahkan disebutkan bahwa kerusakan total pada ekosistem ini, maka sama saja dengan membebaskan karbon yang telah disimpan selama ratusan hingga ribuan tahun lamanya! Sobat Sitibecik bisa bayangkan sepanas apa nanti bumi jika karbon ini dibebaskan?
Perlunya Konservasi Karbon Biru
Sobat Sitibecik sekalian, pembahasan karbon biru sebenarnya tidak jauh dari konservasi dan perawatan ekosistem pesisir. Seperti yang kita ketahui, aktivitas manusia di daerah pesisir telah meningkat akibat dari pertumbuhan populasi dan naiknya permintaan makanan, bahan bakar, kayu, urbanisasi hingga ekstraksi air. Hal tersebut menyebabkan banyaknya konversi dan degradasi ekosistem pesisir. Ekosistem karbon biru sudah hilang pada tingkat yang mengkhawatirkan, yaitu sepertiga dari total kehilangan global dalam beberapa dekade saja.
Perusakan ekosistem pesisir menyebabkan percepatan erosi sedimen, pencucian karbon, dan penumbuhan tanaman yang rendah menyerap karbon, menyebabkan stok karbon dalam tanah berkurang. Tidak hanya itu, perusakan ekosistem ini juga menyebabkan emisi karbon dengan membebaskan karbon yang tersimpan ke atmosfir. Emisi gas rumah kaca lalu muncul akibat dari biomassa yang terbakar dan materi organik yang teroksidasi.
Lembaga internasional sudah menyadari pentingnya peran ekosistem pesisir dalam konsep lingkungan jangka panjang, namun tetap saja, ekosistem ini menjadi yang paling terancam di dunia. Sosio-ekonomi selalu dihadapkan dalam pilihan berat: ekonomi jangka pendek atau keberlanjutan sumber daya jangka panjang. Usaha alih lahan masih marak dilakukan, sehingga pemerintah negara perlu membuat kebijakan yang tegas terkait konservasi pesisir. Sistem perundangan yang lemah menjadi salah satu alasan konservasi tidak terlaksana dengan baik. Namun tentu saja, sobat, kerjasama yang baik antara masyarakat, praktisi, pemilik lahan, hingga akademisi tetap diperlukan demi terlaksananya program ini.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Indonesia menjadi salah satu negara dalam kancah internasional yang wajib melakukan mitigasi karbon biru sebagai konsekuensi negara kepulauan yang memiliki banyak pesisir. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh negara yang kaya akan ekosistem karbon biru, yaitu:
1) Melakukan inventarisasi karbon biru yang akurat
2) Mengidentifikasi ancaman terhadap ekosistem ini dan skala kehilangannya
3) Membuat opsi legal terkait perlindungan ekosistem karbon biru.
Ekosistem karbon biru di Indonesia menjadi salah satu yang paling terancam akibat dari maraknya kegiatan deforestasi dari sektor perikanan dan perkebunan.
Gas rumah kaca yang ada di Indonesia 85% disebabkan oleh aktivitas penggunaan lahan
(Murdiyarso, 2019)
Karena itu, mengendalikan alih fungsi lahan dan deforestasi menjadi prioritas pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia juga perlu membuat undang – undang yang secara spesifik mengatur tentang karbon biru. Dalam hal ini, akan lebih mudah apabila Indonesia mengikuti agenda global dan mengadopsi peraturan internasional tentang karbon biru. Lalu, yang tidak kalah penting, adalah mengedukasi masyarakat pesisir dan membuat mereka berperan secara aktif dalam kegiatan konservasi ekosistem karbon biru.
Itulah sobat, sekilas tentang karbon biru! Tahukah kalian bahwa pembahasan karbon menjadi penting di Indoenesia karena pemerintah mulai berencana menerapkan pajak karbon? Apabila sobat Sitibecik punya pertanyaan atau masalah terkait karbon secara umum, jangan sungkan untuk hubungi tim Sitibecik untuk info lebih lanjut! Kami tunggu, ya!
Bagi yang tertarik ingin mendalami lebih lanjut mengenai blue carbon, berikut referensi buku yang pas untuk dibaca : https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.1201/9780429435362-1/defining-blue-carbon-stephen-crooks-lisamarie-windham-myers-tiffany-troxler
Daftar Pustaka
- Crooks, S., W. Lisamarie, T.G. Troxler. 2019. A Blue Carbon Primer: The State of Coastal Wetland Carbon Science, Practice, and Policy. CRC Press, page 1-8.
- Mcleod, E., Chmura, G.L., Bouillon, S., Slam, R., Björk, M., Duarte, C.M., Lovelock, C.E., Schlesinger, W.H., Silliman, B.R. 2011. A Blueprint For Blue Carbon: Toward An Improved Understanding Of The Role Of Vegetated Coastal Habitats In Sequestering CO2. Frontiers in Ecology and the Envireonment, 9(10): 552-560.
- Murdiyarso, Daniel. 2019. The Nexus Between Conservation and Development in Indonesian Mangroves. A Blue Carbon Primer: 295 – 305.
Leave a Reply